Setiap orang seharusnya dituntut untuk bermimpi besar, menjadi lebih besar dari apa yang ada sekarang. Mimpi menjadi simbol bahwa orang itu memiliki visi yang akan dikejar dari sekarang. Visi yang jelas menjadikannya lebih mudah untuk diraih karena memberikan gambaran dan langkah yang akan dilalui untuk menuju ke sana.
Kita mau menjadi apa di kemudian hari sebaiknya kita impikan dari sekarang. Memang benar, ada kematian yang akan menghentikan segalanya, tapi kita kita belum tahu kapan kematian kita terjadi. Jadi, selagi masih hidup adalah tidak masalah bermimpi jauh ke depan, selama selalu disertai dengan persiapan menuju akhirat. Jadi bila kematian lebih cepat menjemput kita, kita sudah siap, dan sebaliknya bila kematian masih lama yang berarti hidup lebih lama, kita pun tetap siap menjalani kehidupan masa depan kita.
Mungkin terkesan klise mendengar seruan di atas, apalagi kita sering mendengar pesan orang di sekeliling kita bahwa 'jangan banyak bermimpi, nanti ...'. Adalah wajar mereka berkata seperti itu karena mereka khawatir kita akan hidup jauh dari kenyataan yang ujungnya bisa mengakibatkan gangguan jiwa. Mereka melihat kenyataan bahwa tidak sedikit orang yang akhirnya masuk rumah sakit karena gangguan jiwa yang dialaminya karena mimpi yang tidak kesampaian.
Apakah itu berhubungan langsung? Bisa jadi iya bisa jadi tidak. Bisa jadi kalau kita bermimpinya kelewatan batas dan tidak dilandasi oleh kapasitas dan kompetensi yang kita miliki. Bila kita tidak mengenal diri kita dari segi positif dan negatif-nya maka mimpi kita patut disangsikan. Seseorang yang mengetahui potensi yang dimilikinya, maka mimpi yang dimunculkan di benak mereka akan menjadi cambuk bagi dirinya untuk terus melaju dan tetap berusaha hingga mimpinya terwujud.
Sebaliknya orang yang hanya bermimpi saja tanpa ada usaha yang serius dan mungkin hanya sibuk mengulas mimpinya ke orang lain. Itu baru omong kosong. Orang yang cuma omong kosong akan mendapati dirinya terkekang sendiri dengan apa yang sudah diucapkannya ke orang lain. Mereka akan mendapati dirinya tidak beranjak ke mana-mana, sementara janji dan profil mimpinya sudah tersebar ke mana-mana. Akhirnya akan menjadikan dirinya malu, tertutup, dan bingung menentukan langkah.
Mimpi yang ingin kita raih cukup kita saja yang pegang. Jikalaupun kita ingin menyampaikan ke orang lain, cukup orang yang berkompeten saja yang tahu, misalnya orang tua, mentor, orang yang kita hormati, atau orang yang bisa menfasilitasi kita ke arah itu. Sebaliknya, semakin banyak yang tahu malah akan menjadi beban karena kita menjadi takut untuk mengalami kegagalan. Padahal kegagalan adalah wajar dan bahkan dianggap sebagai tahapan menuju sukses.
Sebagai penutup, bacalah dalam buku-buku yang mengulas orang sukses atau buku yang ditulis oleh orang sukses. Di sebagian besar dari buku itu, hal pertama yang disarankan pada halaman pertama adalah 'bermimpilah!'. Apa sebabnya? Karena mimpi adalah titik awal perubahan, titik awal rencana. Mimpi adalah bayangan masa depan yang kita inginkan. Mimpi yang memberi kita panduan tentang apa saja yang akan kita persiapkan dan lakukan untuk meraih yang kita bayangkan. Setelah bermimpi, maka raihlah mimpi itu dengan sekuat tenaga! Setuju?
Kita mau menjadi apa di kemudian hari sebaiknya kita impikan dari sekarang. Memang benar, ada kematian yang akan menghentikan segalanya, tapi kita kita belum tahu kapan kematian kita terjadi. Jadi, selagi masih hidup adalah tidak masalah bermimpi jauh ke depan, selama selalu disertai dengan persiapan menuju akhirat. Jadi bila kematian lebih cepat menjemput kita, kita sudah siap, dan sebaliknya bila kematian masih lama yang berarti hidup lebih lama, kita pun tetap siap menjalani kehidupan masa depan kita.
Mungkin terkesan klise mendengar seruan di atas, apalagi kita sering mendengar pesan orang di sekeliling kita bahwa 'jangan banyak bermimpi, nanti ...'. Adalah wajar mereka berkata seperti itu karena mereka khawatir kita akan hidup jauh dari kenyataan yang ujungnya bisa mengakibatkan gangguan jiwa. Mereka melihat kenyataan bahwa tidak sedikit orang yang akhirnya masuk rumah sakit karena gangguan jiwa yang dialaminya karena mimpi yang tidak kesampaian.
Apakah itu berhubungan langsung? Bisa jadi iya bisa jadi tidak. Bisa jadi kalau kita bermimpinya kelewatan batas dan tidak dilandasi oleh kapasitas dan kompetensi yang kita miliki. Bila kita tidak mengenal diri kita dari segi positif dan negatif-nya maka mimpi kita patut disangsikan. Seseorang yang mengetahui potensi yang dimilikinya, maka mimpi yang dimunculkan di benak mereka akan menjadi cambuk bagi dirinya untuk terus melaju dan tetap berusaha hingga mimpinya terwujud.
Sebaliknya orang yang hanya bermimpi saja tanpa ada usaha yang serius dan mungkin hanya sibuk mengulas mimpinya ke orang lain. Itu baru omong kosong. Orang yang cuma omong kosong akan mendapati dirinya terkekang sendiri dengan apa yang sudah diucapkannya ke orang lain. Mereka akan mendapati dirinya tidak beranjak ke mana-mana, sementara janji dan profil mimpinya sudah tersebar ke mana-mana. Akhirnya akan menjadikan dirinya malu, tertutup, dan bingung menentukan langkah.
Mimpi yang ingin kita raih cukup kita saja yang pegang. Jikalaupun kita ingin menyampaikan ke orang lain, cukup orang yang berkompeten saja yang tahu, misalnya orang tua, mentor, orang yang kita hormati, atau orang yang bisa menfasilitasi kita ke arah itu. Sebaliknya, semakin banyak yang tahu malah akan menjadi beban karena kita menjadi takut untuk mengalami kegagalan. Padahal kegagalan adalah wajar dan bahkan dianggap sebagai tahapan menuju sukses.
Sebagai penutup, bacalah dalam buku-buku yang mengulas orang sukses atau buku yang ditulis oleh orang sukses. Di sebagian besar dari buku itu, hal pertama yang disarankan pada halaman pertama adalah 'bermimpilah!'. Apa sebabnya? Karena mimpi adalah titik awal perubahan, titik awal rencana. Mimpi adalah bayangan masa depan yang kita inginkan. Mimpi yang memberi kita panduan tentang apa saja yang akan kita persiapkan dan lakukan untuk meraih yang kita bayangkan. Setelah bermimpi, maka raihlah mimpi itu dengan sekuat tenaga! Setuju?