Topik posting kali ini kembali seputar merantau. Tentu saja tidak membahas sebuah film yang berjudul merantau yang dibintangi Igo Uwais, meskipun arti merantau bisa diibaratkan di sana tapi tanpa hidup susah dan keras seperti dalam film itu pastinya. Merantau di sini dalam artian umum saja berpindah ke daerah lain yang mana di daerah tersebut kita tinggal sendiri atau cuma segelintir kenalan kita di daerah baru tersebut. Awalnya kesepian, namum berjalan dengan waktu pasti akan banyak juga kenalan kita.

Sejauh pengamatan saya di kampung halaman, saya melihat fenomena bahwa banyak orang dari luar pulau saya yang datang mencari peruntungan dengan menjalankan bisnis yang bagi orang pribumi termasuk bidang bisnis yang segelintir saja bahkan tidak ada yang jalankan bisnis itu, jadi khusus mereka dari luar saja yang bisnis seperti itu di daerah saya, misal martabak, terang bulan, bakso, penyetan, rongsokan, jual mainan anak-anak, dll. Keheranan saya muncul karena orang pribumi pun bisa buka bisnis seperti itu, tapi kenapa bisnis itu kok didominasi orang dari Jawa ya..

Ini satu kesimpulan saya, yang mungkin teori baru di dunia pemasaran. Mungkin ya atau saya saja yang berpikiran seperti ini. Hahaha.. Kesimpulan saya adalah karena mereka tidak kenal banyak orang. Faktanya kadang kita senang bertransaksi dengan seseorang yang kurang kita kenal. Kenapa ya? Saya jelaskan alasannya dalam poin-poin saja ya agar tidak belepotan;
  • Kita bisa menawar dengan bebas. Coba bayangkan bila kita menawar dengan orang yang kenal keluarga kita, pasti kita malu menawar karena khawatir dicap pelit.

  • Kita leluasa menyampaikan apa saja. Semua pembeli pasti ingin dihargai termasuk didengar, alias pembeli merasa lebih tinggi dibanding penjual, jadi pembeli merasa punya hak untuk menyampaikan apa saja terhadap dagangan seseorang termasuk mencela. Ada kepuasan tersendiri bila apa yang dipikirkan pembeli tersampaikan ke penjual biarpun itu hanya curahan hati. Si penjual pasti mengiyakan saja, dan meladeni dengan bijaksana. Tipe penjual begini yang pembeli suka, hingga akhirnya akan datang lagi belanja di hari yang lain. Atau bisa juga begini, pembeli tidak mau terlalu banyak basa basi. Si penjual juga karena tidak kenal ya melayani saja transaksi tanpa banyak basa basi.

  • Tidak ada ikatan atau keterpaksaan untuk transaksi lagi di kemudian hari. Kalau kita kenal penjualnya, pasti kita merasa bahwa si penjual akan berharap kita datang lagi bertransaksi selanjutnya, sementara kita tidak mau terikat seperti itu. Jadi kalau penjual itu kita kenal, kita pasti malu kalau ketemu di suatu tempat apalagi kalau ditanyain ke mana saja kok tidak pernah belanja lagi.. haha.. Kalau penjualnya tidak kita kenal, kita bebas saja tidak perlu mikirin di penjual. lah nggak mungkin sering ketemu di acara keluarga dan acara umum lainnya..

Terus, apa hubungannya dengan merantau? Kok pembahasan lari ke jual beli.. hahaha.. Masih bingung kan? Begini, kalau kita merantau kita punya celah pasar seperti poin-poin di atas, yang mana ada orang yang senang bertransaksi dengan orang yang tidak dikenalnya atau tidak mengenal siapa kita. Kita yang merantau pun tidak masalah dengan bisnis apa saja yang penting halal karena keluarga tidak tahu menahu kita melakukan apa di perantauan, kita bisa menurunkan gengsi kita untuk memulai bisnis dari nol. Kenapa jadi solusi? Kalau kita menjalankan bisnis di daerah kita sendiri terus tidak sukses, pertimbangkanlah untuk menjalankannya di daerah lain yang lebih ramai yang lebih banyak orang yang tidak kita kenal. Setuju?

Posted on 13:15 by 100% asli

Rasa malas selalu menjadi alasan sekaligus jawaban untuk semua aktivitas yang belum  dikerjakan. Saking seringnya jadi alasan, orang pun mulai menjadi maklum dan menganggap biasa bila orang beralasan malas. Anehnya lagi, orang-orang seakan sudah tidak mempermasalahkan bila ada orang malas, jangankan di sekolah bahkan di dalam pekerjaan pun begitu. Malas sudah dianggap sebagai suatu sifat wajar, bukan sesuatu yang harus diobati atau bukan lagi permasalahan yang dianggap serius.

“Kalau sudah malas ya mau diapakan lagi. Mendingan tidak usah diberi pekerjaan dan tanggung jawab, paling juga tidak dilaksanakan”. Kalimat ini sudah dianggap sebagai solusi menghadapi orang malas. Diasumsikan bahwa bila orang malas tidak diberi perhatian dalam bentuk tanggung jawab dan sanksi maka orang malas akan ‘sembuh’. Tentu saja tidak bukan? Malah pembebasan tugas ini bisa memunculkan pendapat bagi orang di sekitarnya bahwa menjadi orang malas ternyata enak karena tidak mendapat tugas apa-apa atau tugas yang diberikan pun yang lebih gampang.

Di lingkungan tempat kerja, memiliki partner kerja yang bawaannya malas, pastinya membuat kita gampang terpancing emosi. Kita semua sudah tahu sama tahu bahwa orang malas itu adalah orang yang paling susah disuruh, jadi dari pada dimarahin dan memancing emosi mending kita yang pergi untuk menenangkan diri. Orang malas seperti itu, harus dipindahkan dari area kita karena akan mengganggu suasana kerja.

Besar kemungkinan, beban kerja orang yang malas akan beralih ke orang yang rajin. Bagi orang yang gila kerja dan mengejar promosi, mungkin senang-senang saja karena itu adalah kesempatan promosi dan meminimalkan saingan, tapi untuk yang sadar karirnya sudah mentok, yang sadar bahwa sekeras apa pun kerjanya posisi tidak bakalan naik, mendapati rekan kerjanya yang malas tentu akan membuatnya secara berangsur menjadi pemalas juga. Ditambah lagi bila menyadari bahwa orang yang malas jarang disuruh, maka orang yang rajin akan berkurang sifat rajinnya dan mulai membuat alasan untuk malas dengan menjadikan temannya yang malas itu sebagai pembanding.

Jadi, kalau mau kita dikenal sebagai orang baik ya jadilah orang yang rajin yang bisa diandalkan dan bertanggung jawab. Sedangkan, bila kita mau hidup begitu-begitu saja dan dicibir banyak orang dan tidak bernilai di mata orang, maka jadilah orang yang malas. Tapi ingat, apapun yang kita lakukan pasti ada akibatnya di kemudian hari. Hidup tidak sesederhana dengan hanya menganggap bahwa orang malas menuai akibatnya saat ini saja, tidak demikian adanya. Malas adalah sifat yang akibatnya akan beruntun dan merembet hingga yang lain dan tidak mengenal waktu. Akibat-akibatnya antara lain; dalam beribadah juga malas, anak keturunan juga akan jadi pemalas, susah dipercaya orang sehingga sulit mendapat bantuan orang, susah dalam pergaulan apalagi kalau hidupnya sudah sulit, emosi yang labil, susah memotivasi diri, dan lain sebagainya.

Akhir kata, orang malas bertambah dari hari ke hari dan banyak kita lihat di lingkungan kita. Mereka seolah biasa saja dengan tanggung jawab dan terbiasa dengan satu kata ‘malas’ sebagai alasan. Mereka harus disadarkan, mereka harus dimotivasi, mereka harus merasa dihargai, mereka harus didengar, mereka harus kita bangunkan, dan ‘mungkin’ mereka harus kita doakan agar kembali ke jalan yang benar. Bila ada orang rajin, perlakukan dengan baik agar tetap rajin, karena susah sekali menjaga semangat untuk selalu rajin sebaliknya sangat gampang menjadikan siapa pun untuk jadi pemalas.

Posted on 20:36 by 100% asli