Rasa malas selalu menjadi alasan sekaligus jawaban untuk semua aktivitas yang belum  dikerjakan. Saking seringnya jadi alasan, orang pun mulai menjadi maklum dan menganggap biasa bila orang beralasan malas. Anehnya lagi, orang-orang seakan sudah tidak mempermasalahkan bila ada orang malas, jangankan di sekolah bahkan di dalam pekerjaan pun begitu. Malas sudah dianggap sebagai suatu sifat wajar, bukan sesuatu yang harus diobati atau bukan lagi permasalahan yang dianggap serius.

“Kalau sudah malas ya mau diapakan lagi. Mendingan tidak usah diberi pekerjaan dan tanggung jawab, paling juga tidak dilaksanakan”. Kalimat ini sudah dianggap sebagai solusi menghadapi orang malas. Diasumsikan bahwa bila orang malas tidak diberi perhatian dalam bentuk tanggung jawab dan sanksi maka orang malas akan ‘sembuh’. Tentu saja tidak bukan? Malah pembebasan tugas ini bisa memunculkan pendapat bagi orang di sekitarnya bahwa menjadi orang malas ternyata enak karena tidak mendapat tugas apa-apa atau tugas yang diberikan pun yang lebih gampang.

Di lingkungan tempat kerja, memiliki partner kerja yang bawaannya malas, pastinya membuat kita gampang terpancing emosi. Kita semua sudah tahu sama tahu bahwa orang malas itu adalah orang yang paling susah disuruh, jadi dari pada dimarahin dan memancing emosi mending kita yang pergi untuk menenangkan diri. Orang malas seperti itu, harus dipindahkan dari area kita karena akan mengganggu suasana kerja.

Besar kemungkinan, beban kerja orang yang malas akan beralih ke orang yang rajin. Bagi orang yang gila kerja dan mengejar promosi, mungkin senang-senang saja karena itu adalah kesempatan promosi dan meminimalkan saingan, tapi untuk yang sadar karirnya sudah mentok, yang sadar bahwa sekeras apa pun kerjanya posisi tidak bakalan naik, mendapati rekan kerjanya yang malas tentu akan membuatnya secara berangsur menjadi pemalas juga. Ditambah lagi bila menyadari bahwa orang yang malas jarang disuruh, maka orang yang rajin akan berkurang sifat rajinnya dan mulai membuat alasan untuk malas dengan menjadikan temannya yang malas itu sebagai pembanding.

Jadi, kalau mau kita dikenal sebagai orang baik ya jadilah orang yang rajin yang bisa diandalkan dan bertanggung jawab. Sedangkan, bila kita mau hidup begitu-begitu saja dan dicibir banyak orang dan tidak bernilai di mata orang, maka jadilah orang yang malas. Tapi ingat, apapun yang kita lakukan pasti ada akibatnya di kemudian hari. Hidup tidak sesederhana dengan hanya menganggap bahwa orang malas menuai akibatnya saat ini saja, tidak demikian adanya. Malas adalah sifat yang akibatnya akan beruntun dan merembet hingga yang lain dan tidak mengenal waktu. Akibat-akibatnya antara lain; dalam beribadah juga malas, anak keturunan juga akan jadi pemalas, susah dipercaya orang sehingga sulit mendapat bantuan orang, susah dalam pergaulan apalagi kalau hidupnya sudah sulit, emosi yang labil, susah memotivasi diri, dan lain sebagainya.

Akhir kata, orang malas bertambah dari hari ke hari dan banyak kita lihat di lingkungan kita. Mereka seolah biasa saja dengan tanggung jawab dan terbiasa dengan satu kata ‘malas’ sebagai alasan. Mereka harus disadarkan, mereka harus dimotivasi, mereka harus merasa dihargai, mereka harus didengar, mereka harus kita bangunkan, dan ‘mungkin’ mereka harus kita doakan agar kembali ke jalan yang benar. Bila ada orang rajin, perlakukan dengan baik agar tetap rajin, karena susah sekali menjaga semangat untuk selalu rajin sebaliknya sangat gampang menjadikan siapa pun untuk jadi pemalas.